Jakarta? (11)

kembali ke daftar isi


Kejadian Pak Bandrio yang gagal bunuh diri tadi membuatnya sadar bahwa nyawanya masih betah singgah di tubuhnya. Pak Bandrio yang tadi memegang pistol, sekarang pistolnya diletakkan lalu duduk di kursinya sambil memegangi kepalanya.

Ada perlu apa kalian kemari?”kata Pak Bandrio sambil menunduk dan memegangi kepalanya.

“Kami mau minta bantuannya Pak.”kata Parjo.

“Bantuan apa ya?”

“Kami pengen menemukan kembali Matuka, jadi kami minta bantuan bapak.”

Pak Bandrio kembali semangat, ternyata Agen 0007 tidak jadi hancur. Walaupun hanya dibantu dengan dua cecurut dan satu bidadari Pak Bandrio akan menjalankan tugas dari atasannya dulu dengan sebaik-baiknya.

“Ok… kalau gitu kita berangkat sekarang, waktu kita tinggal 6 hari lagi!”Pak Bandrio berdiri lalu mengajak Parjo Cs untuk pergi ke suatu tempat.

Parjo Cs bingung kenapa Pak Bandrio tergesa-gesa. Merekapun mengikuti Pak Bandrio. Pak Bandrio dan Parjo Cs pergi naik mobil kijang abu-abu yang masih layak pakai dengan satu sopir. Mereka semua menuju bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Tiket pesawat menuju Jakarta didapat oleh Pak Bandrio dengan mudah. Jam setengah delapan Parjo Cs dan Pak Bandrio akan take off. Sekarang mereka berempat duduk menunggu diruang tunggu.

“Jo kita ini mau naik apa to?”tanya Paijo.

“Kalau tidak salah naik Burung.”jawab Parjo.

“Burungnya siapa?”Paijo penasaran,”Burungnya pasti besar banget ya…”

“Ya pasti besarlah,,, mungkin burungnya Ade Rai.”jawab Parjo sok tau.

“Pasti gara-gara rajin fitness burungnya jadi besar.”kata Paijo.

Tak lama kemudian para penumpang pesawat Garuda Indonesia disuruh memasuki pesawat. Parjo Cs dan Pak Bandrio langsung berdiri dan berjalan menuju landasan pesawat tersebut.

“Waoo…”Paijo heran melihat pesawat yang akan dinaikinya,”Burungnya Ade Rai keren.”

“Alamak,,, Aderanya dimana ya?”kata Parjo,”Pasti selain rajin fitness dia juga rajin makan sate kambing muda.”

Parjo dan Paijo menginjakan kakinya di tangga pesawat, rasa kagum mereka bertambah setelah memasuki ruangan pesawat dan duduk di tempatnya. Paijo duduk disampaing jendela kemudian berturut-turut Parjo, Persi dan Pak Bandrio.

“Kalian pernah naik pesawat belum?”tanya Pak Bandrio sekedar membuat bahan pembicaraan.

“Kalau aku sudah pak, dulu dari Perancis menuju Indonesia.”jawab Persi.

“Saya belum pak…”kata Parjo,”Malah liat ini saja baru pertama kali.”

“Kalau saya juga pernah pak.”Parjo mengaku-ngaku supaya tidak dibilang katrok,”Dulu saya naik dari rumah menuju musolla.”

Persi dan Pak Bandrio pun tertawa mendengar jawaban Paijo sedangkan Parjo dan Paijo hanya diam karena tidak tau masalahnya.

Sekarang saatnya pesawat lepas landas, semua penumpang diharapkan memakai sabuk pengaman. Semua penumpang mengenakan sabuk pengaman dengan baik dan benar tapi ada dua penumpang bodoh yang malah mengencangkan ikat pinggang lalu menaikkan celananya.

“Tau aja kalau celana kita kedodoran.”kata Parjo dan Paijo.

Persi yang melihat dua rekan kerjanya jadi prihatin, lalu Persi mengajari mereka berdua dengan sabar.

“Tarik..”perintah Persi.

“Riiikk…”balas Parjo dan Paijo sambil menarik sabuk pengaman.

“Masukan..”perintah Persi lagi.

“Oooohhh…”balas Parjo dan Paijo.

“Kliikk..”kata Persi,”Pastikan Klik, ya…”

“Kliiiiiikkkkkkk….”

Suara mesin pesawat mulai terdengar keras, pesawat pun mulai berjalan dengan kencang, goncangan mulai terasa dan suasana menjadi menegangkan. Parjo dan Paijo yang baru mengalami pertama kali spontan langsung teriak.

“Tooolllooooonggg…..!”teriak mereka berdua, sambil meronta ingin berdiri tapi tidak bisa, karena sabuk pengaman yang kencang menempel di badannya.

“Ggeempaaaa Buumiii….”teriaknya lagi, sekaligus membuktikan bahwa Paijo belum pernah naik pesawat menuju musolla.

Teriakan Parjo dan Paijo membuat suasana menegangkan menjadi menkhawatirkan. Persi yang duduk disamping Parjo langsung membungkam mulut Parjo dan Parjo.

“Memalukan…!”kata Persi kepada Parjo dan Paijo.

Satu kata dari Persi tadi cukup untuk membuat hati Parjo dan Paijo hancur, lalu mereka diam sambil merenungi nasib.

Suasana yang menegangkan dipesawat masih berlangsung, tetapi tidak dengan suara Paijo dan Parjo. Tak lama kemudian proses lepas landas selesai dan para penumpang diperbolehkan melepas sabuk pengamannya. Kemudian Pak Bandrio mulai mengajak ngobrol Parjo Cs.

“Kalian tau gak, kita akan kemana?”

“Tidak pak, mungkin terbang ke surga.”jawab Paijo.

“Kita akan ke Jakarta, ke Ibu Kota kita.”kata Pak Bandrio dengan bangga.

“Wahhh Asiiik,,,,!”kata Parjo Cs,“Tolong ceritakan dong pak situasi disana?”tanya Parjo sambil menatap wajah Pak Bandrio.

“Disana tu banyak gedung bertingkat, jalannya sudah diaspal, orangnya gaul-gaul, pokoknya banyak deh.”kata Pak Bandrio,”Kayaknya kalian berdua perlu ganti nama supaya tidak kelihatan dari desa.”sambil menunjuk Parjo dan Paijo.

“Betul juga itu pak.”kata Parjo dan Paijo.

“Kalau saya ganti Paino Monggodirejo, gimana?”kata Paijo

“Goblook,,, itu sama ndesonya.”teriak yang lain

Mereka berempat sibuk mencari nama panggilan yang cocok untuk Parjo dan Paijo. Mula dari Robet, Ricardo, Huanzau, Kafin, Gobert sampai Zakar, semuanya tak cocok untuk mereka berdua. Robert tak cocok karena kulitnya hitam, Ricardo tak cocok karena tubuhnya pendek, Huanzau tak cocok kerena rambutnya kriting, Kafin tak cocok karena wajahnya jelek, Gobert tak cocok karena banyak utang, dan kalau Zakar terlalu kebangetan. Dari keterangan tersebut pasti anda dapat memikirkan bagaimana bentuk asli Paijo dan Parjo.

“Aduh,, sulit juga ya cari nama untuk kalian.”keluh Pak Bandrio sambil gedek-gedek kepala.

Mereka berempat diam sejenak, kemudian Persi mengatakan sesuatu dengan gembira.

“Ya… aku tau,, Surya dan Martin,… Parjo diganti Surya dan Paijo diganti Martin, itu diambil dari nama belakang mereka.”

“Ide yang bagus, walaupun bagus namanya dari pada orangnya.”kata Pak Bandrio sambil memanggukkan kepalanya,”Jangan-jangan nanti mereja berdua gak kuat menyandang nama tersebut malah jatuh sroke.”ejek Pak Bandrio.

Parjo dan Paijo menerima dengan senang hati, mulai sekarang mereka resmi dipanggil Surya dan Martin.

~~

Kurang dari satu jam mereka telah sampai di bandara Jakarta. Mungkin karena sudah diganti nama, Parjo dan Paijo tidak teriak lagi saat proses landing.

“Ibu Fatmawati itu siapa?”tanya Pak Bandrio sambil berjalan keluar dari bandara.

“Yang jahit bendera Merah Putih.”kata mereka bertiga.

“Kalau Suhud dan Latif?”

“Yang ngibarkan bendera.”

“Kalau Sukarno Hatta?”

“Ploklamator…”

“Salah…. Sukarno hatta itu nama Bandara yang kita injak ini.”kata Pak Bandrio sambil tertawa kecil.

Lima menit kemudian mereka sampai dijalan raya lalu memanggil taksi. Kemudian mereka menuju ke komplek asrama polri Pasar Rebo. Dalam perjalanannya Surya dan Martin terkagum melihat suasana ibukota dimalam hari, lampu-lampu, keramaian, dan jalan layang, belum pernah mereka lihat sebelumnya, karena didesanya hanya bisa melihat kandang kambing.

Di Pasar Rebo mereka sudah disiapkan satu rumah dengan tiga kamar dari Polda Metro Jaya. Sesampainya diasrama tersebut mereka langsung tidur, Persi tidur sendiri dikamar depan, Pak Bandrio kamar tengah, sedangkan Surya dan Martin tidur dikamar belakang sambil menyanding sapu dan buku ajaibnya.

Pagi hari ketiga tiba, setelah selesai mandi mereka berempat berkumpul di kamar tamu. Mereka memikirkan bagaimana caranya mendapatkan kembali Matuka.

“Pertama, kita harus menemukan alamat sarang mafia Black-ear.”kata Pak Bandrio.

“Gimana kita bisa nemuin pak?”tanya Martin.

“Ya dicari…”kata Pak Bandrio,”kita bagi dua kelompok, kelompok satu namanya Anjing yaitu saya dan Martin dan kelompok dua namanya kucing yaitu Surya dan Persi. Dan jam empat sore kembali lagi disini”

“Siap pak…”jawab yang lain.

Jam sepuluh pagi mereka keluar dari rumah, Anjing kearah utara dan Kucing kearah selatan. Sebelumnya tiap tim dikasih handphone, satu kendaraan Yamaha scorpio warna hitam dan uang dua ratus ribu untuk keperluan Anjing Kucing. Benda ajaib dari Mbah Kastro tak dibawa satu pun.

Anjing berjalan ke utara terus, sesaat berhenti untuk menanyakan Black-ear kepada pedagang asongan, tapi gak ada yang tau. Martin kemudian berinsiatif untuk tanya ke kantor pos, pikirnya pak pos tau alamat segalanya. Itu pun juga gagal karena Black-ear belum pernah kirim surat. Kemudian pencarian dilanjutkan ke titipan kilat, gagal juga karena Black-ear punya titipan kilat sendiri.

Empat jam anjing berjalan terus ke utara tapi anehnya mereka sampai di Bogor, maklumlah Martin dan Pak Bandrio masih awam di ibu kota

Kucing yang berjalan terus keselatan malah sampai di ancol. Surya melupakan tugas pokoknya yang mencari Black-ear, dia malah mencari kesempatan untuk mencari hati Persi. Sepanjang perjalan Surya mengajak ngobrol Persi, walaupun Persi duduknya jaga jarak dengan Surya, tapi Surya tetep seneng. Surya memang dipenuhi dengan keberuntungan padahal baru pertama ke Jakarta, dia bisa tau ancol. Sesampainya diancol Surya memarkirkan motornya ditepi pantai.

“Kok malah disini…”tanya Persi.

“Gak papa, hari pertama di Jakarta kita nikmati saja.”kata Surya yang masih diatas motor.

“Lalu gimana dengan Matuka?”kata Persi.

Surya diam mendengar pertanyaan Persi, wajahnya menatap laut yang luas, angin semilir menghembus ditubuhnya. Kemudian Persi turun dari motor lalu duduk di bebatuan tepi pantai, pandangan Surya berpindah kepada Persi sambil tersenyum.

“Indah ya pantai ini…”kata Persi diatas bebatuan.

“Memang indah, walau pun hari panas.”kata Surya lalu turun dari motornya dan menghampiri Persi.

Mereka duduk bersama diatas batu, Surya menolehkan wajahnya kearah Persi, kemudian Persi pun menolehkan wajahnya kearah Surya.

Ada apa?”tanya Persi dengan lembut.

Jantung Surya berdebar kencang, mengucapkan satu kata pun serasa sulit. Kemudian Surya menunduk. Tangannya gemetar, seolah tak bisa lagi mengendalikan tubuhnya.

Mengetahui hal tersebut Persi tersenyum, tangan kanannya lalu menggenggam tangan kiri Surya. Surya kaget, kemudian memandang Persi, terlihat Persi tersenyum manja kearah Surya.

Ada apa?”tanya Surya.

“Tanganmu gemetar.”

Kemudian tangan kanan Surya menggenggam tangan kiri Persi.

“Mengapa?”tanya Persi.

“Tanganmu ikut gemetar setelah menggenggam tanganku.”

Mereka bedua tertawa dan menghilangkan rasa grogi Surya, lalu mereka ngobrol dengan asiknya. Ditengah asik ngobrol Persi merebahkan kepalanya diatas pundak Surya, kemudian Surya membelai rambut Persi. Hembusan angin dan suara ombak mengiringi mereka berdua.

“Apa kamu suka bersamaku?”tanya Surya sambil membelai rambut Persi.

“Suka, tapi yang paling aku senangi bersamamu adalah perasaan aman bila bersamamu.”kata Persi,”Aku merasa dilindungi dan terlindungi.”

~~

Jam empat sore kelompok Anjing gila dan Kucing cinta belum ada yang kembali ke rumah. Anjing masih di bogor dan Kucing di ancol.

“Tin, tolong kamu telfon Kucing.”perintah Pak Bandrio yang berada di warung Dawet daerah bogor.

“Gimana caranya pak?”Martin meletakkan Dawetnya lalu mengeluarkan Hp.

“Cari nama Kucing lalu tekan Ok.”kata Pak Bandrio sambil menyruput dawetnya.

“Kucingnya sudah ketemu pak.”kata Surya,”lalu tekan Ok.”

“Sekarang tempelkan di kuping dan dengarkan.”

“Kok cuma bunyi Tuttt.”

“Tunggu…..”kata Pak Bandrio.

Martin menunggu sejenak.

Ada suaranya pak, suara cewek!”kata Martin.

“Ya… itu mungkin Persi.”

“Haluuuu, Persi, Persi…”kata Martin.”Heeehh….Persiii..”kemudian Hpnya diletakkan.

“Gimana?”kata Pak Bandrio.

“Persi ngomong terus, aku gak dikasih kesempatan ngomong.”

“Memangnya Persi ngomong apa?”

“Maaf pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan.”

“Gobloook…”

Kemudian Pak Bandrio mengambil Hp tadi dan membawanya ke warung pulsa, kebetulan warungnya disebelah warung dawet. Tak lama kemudian Pak Bandrio datang kembali di warung dawet menemui Martin.

“Nih kamu telpon lagi, sekarang pulsanya banyak.”

Martin menelpon kucing lagi.

“Haloo…”suara dari Hp.

“Siapa ya?”tanya Martin.

“Surya…”

Martin lalu meletakkan Hp dan mendekati Pak Bandrio.

“Pak kucing sudah tersambung, mao ngomong apa pak?”tanya Martin.

Tak menjawab pertanyaan Martin Pak Bandrio langsung ngrebut Hp yang dibawa Martin.

“Haloo, Posisi dimana?”kata Pak Bandrio.

“Kucing diancol pak, Anjing dimana?”tanya Surya.

“Anjing di Bogor, kami tersesat, kami tak bisa pulang ke Pasar Rebo.”kata Pak Bandrio.

Setelah omongan tadi sambungan terputus karena baterainya habis.

Surya yang diancol jadi teringat kalau dia juga tidak bisa pulang, karena tak tau jalan, Surya panic. Kemudian mereka menaiki kembali motornya dan cabut dari ancol. Beruntung Surya bersama Persi yang otaknya masih encer, Persi masih ingat jalan yang mereka lalui tadi. Satu jam kemudian mereka sudah sampai dirumah. Dirumah hanya ada Surya dan Persi, kesempatan tersebut tidak dilewatkan oleh Surya. Surya mengajak bermain rumah tanggaan bersama Persi, Surya jadi suaminya dan Persi menjadi istrinya. Permainan tersebut sangat dinikmati Surya karena memperdekat hubungannya dengan Persi.

Di Bogor sekarang ada Anjing Gila Tersesat. Setelah puas minum dawet, Anjing langsung cabut dan berjalan menuju utara. Tapi sungguh malang nasip si-Anjing, dua jam kemudian mereka sampai di Sukabumi, semakin menjauh dari pasar rebo.

Karena keadaan Anjing semakin mengkhawatirkan, inisiatif Martin yang tadi tak berguna sekarang berguna, yaitu tanya kepada Pak pos. Dengan upah lima puluh ribu Pak pos mengantarkan Anjing sampai tujuan dengan selamat sentosa.

~~

Pagi hari ke empat tiba, setelah selesai mandi mereka berkumpul di ruang tamu.

“Ternyata cara kita kemarin salah, mengingat kita tidak tau jalan disini.”kata Pak Bandrio,”Apa kalian punya ide lain?”

Mereka semua berpikir, memang sulit cari sesuatu yang gak tau alamatnya, bentuknya, dan orangnya.

“Ide kamu apa Sur?”tanya Pak Bandrio kepada Surya.

Kan sepuluh hari lagi Matuka akan diterbangkan, ya kita tunggu saja, lalu nanti baru kita tangkap dibandara.”usul Surya.

“Kalau kamu Per?”tanya Pak Bandrio.

“Gimana kalau hari ini kita gunakan jalan-jalan guna untuk menghapalkan jalan.”kata Persi.

“Ide kamu Tin.”tanya Pak Bandrio.

“Blank.”

“Baiklah kalau gitu, dari pada nunggu lima hari mending kita jalan-jalan menghapal jalan sambil refreshing.”kata Pak Bandrio.

~~

Jam sembilan pagi mereka keluar dari rumah, Agen 0007 akan jalan-jalan. Sekarang yang mereka lakukan adalah pergi ke butik dulu untuk beli seragam supaya lebih kelihatan keren.

Tak lama kemudian mereka sampai di butik daerah Cijantung. Mereka berempat membeli pakaian kembar. Taxido warna hitam dengan tulisan Agen 0007 kecil warna merah didadanya, dasi merah dan kemeja putih, semua itu dipilih mereka untuk seragam dinas. Setelah selesai membeli, mereka langsung menaiki motornya lalu menggeber motornya mengelilingi Jakarta.

kembali ke daftar isi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar